“Good
Governance”: Indikator Utama Kinerja Pemerintahan
Salah satu kelemahan
dalam standard penilaian kinerja pemerintahan, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya,
adalah orientasi teoritis atau paradigmatis yang masih mengarah
kepada birokrasi klasik dan mengutamakan “means” (cara) dari pada
“ends”(tujuan). Di masa mendatang, orientasi penilaian kinerja pemerintahan
hendaknya mengikuti paradigma “reinventing government” atau
“post-bureaucratic”, yang mengutamakan pengukuran kinerja pada hasil akhir atau
tujuan serta visi organisasi, dan bukan pada kemampuan mendanai input dan
menjalankan proses (lihat Gaebler dan Osborne, 1992). Dan pada saat ini
tuntutan akan “good governance” menjadi semakin mendesak, sehingga nilai-nilai
tersebut harus diakomodasikan dalam standard penilaian kinerja pemerintahan.
Salah satu pembahasan
tentang “good governance” dapat ditelusuri dari tulisan J.S.Edralin (1997).
“Governance” merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggantikan
istilah “government”, yang menunjukkan penggunaan otoritas politik, ekonomi,
dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Istilah ini secara
khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan
(provider) kepada “enabler” atau “facilitator”, dan perubahan kepemilikan yaitu
dari milik negara menjadi milik rakyat. Pusat perhatian utama dari “governance”
adalah Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 5 perbaikan kinerja atau perbaikan
kualitas. Istilah “good governance” dipromosikan oleh beberapa agensi
multilateral dan bilateral (JICA, OECD, GTZ) sejak tahun 1991, dengan memberikan
tekanan pada beberapa indikator antara lain: (1) demokrasi, desentralisasi, dan
peningkatan kemampuan pemerintah; (2) hormat terhadap hak asasi manusia dan
kepatuhan terhadap hukum yang berlaku; (3) partisipasi rakyat; (4) effisiensi,
akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik; (5)
pengurangan anggaran militer; dan (6) tata ekonomi yang berorientasi pasar.
Sementara itu, United
Nations merumuskan indikator “good governance” yang meliputi: (1) kemampuan,
yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan fungsi-fungsi
pemerintah, termasuk sistim administrasi publik yang efektif dan responsif; (2)
akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam pengambilan
keputusan; (3) partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber
informasi dari publik dan dari swasta; (4) perhatian terhadap pemerataan dan
kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi
kepada pasar.
UNDP hanya memberikan
dua indikator “good governance” yaitu: (1) desentralisasi untuk meningkatkan
pengambilan keputusan di tingkat lokal, dengan menekankan perbaikan nilai
efisiensi, mempromosikan keadilan dalam pelayanan publik, peningkatan
partisipasi di bidang ekonomi dan politik; dan (2) kerjasama antara pemerintah
dengan organisasi-organisasi masyarakat. Di lain pihak, World Bank mengemukakan
enam indikator antara lain: (1) akuntabilitas politik, dengan menguji tingkat
penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan seorang eksekutif dengan menetapkan
sistim pemilihan dan batas waktu menduduki jabatan; (2) bebas untuk berkumpul
dan partisipasi seperti di bidang keagamaan, asosiasi profesi, relawan dan
media; (3) jaminan hukum seperti kesamaan perlakuan hukum, perlindungan dari
campur tangan luar, eksploitasi terhadap lingkungan; (4) akuntabilitas
birokrasi, yaitu menciptakan sistim untuk memonitor dan mengontrol kinerja
dalam kaitannya dengan kualitas, inefisiensi, dan pengrusakan sumberdaya, dan
transparansi dalam manajemen keuangan, pengadaan, akunting, dan pengumpulan
sumber dana; (5) ketersediaan, validitas, dan analisis informasi; dan (6)
manajemen sektor publik yang efektif dan efisien (Edralin, 1997: 146 – 147).
Semua nilai yang
dituangkan dalam rubrik “good governance” ini nampaknya bersifat nilai-nilai
universal dan sejalan dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam GBHN 1999-2004. Karena itu, nilai-nilai ini perlu dipromosi
dengan harapan kualitas pemerintahan di Indonesia dapat disejajarkan dengan
kualitas pemerintahan negara-negara lain yang menggunakan nilai-nilai tersebut
sebagai acuan. Sebagian dari nilai-nilai tersebut telah diperhatikan oleh
pemerintah R.I misalnya melalui perbaikan sistim politik yaitu dengan
pemberlakuan undang-undang politik, promosi desentralisasi dan partisipasi
lokal melalui undang-undang tentang otonomi daerah, perhatian yang serius
terhadap hak asasi manusia (HAM), pemberian kebebasan untuk berkumpul dan
berorganisasi, dan pengurangan peranan militer. Namun perhatian terhadap
nilai-nilai lain masih dirasakan belum memuaskan seperti akuntabilitas
birokrasi, transparansi dalam pengambilan keputusan, perlakuan hukum secara
adil, dan kemampuan yang memadai dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan
dan formulasi kebijakan.
Sebaiknya nilai-nilai
“good governance” diatas dibahas dan ditetapkan secara formal dan eksplisit
dalam rangka pengukuran kinerja pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian,
kinerja pemerintahan di masa mendatang dapat diukur dari sampai seberapa jauh
lembaga dan aparat pemerintahan telah mewujudkan nilai-nilai “good governance”
dan secara nyata dirasakan oleh masyarakat. Misalnya dalam kaitannya dengan
kondisi di Indonesia saat ini maka nilai-nilai “good governance” yang paling
penting menggambarkan kinerja pemerintahan meliputi:
1. Visi strategis:
apakah pemerintahan yang ada memiliki visi yang jelas, serta misi untuk
mewujudkan
visi tersebut.
2. Transparansi:
apakah pemerintahan yang ada menyediakan informasi ke publik secara terbuka
sehingga publik dapat mempertanyakan tentang mengapa suatu keputusan dibuat,
atau apa kriteria yang digunakan, sehingga masyarakat publik dapat mengontrol,
memonitor lembaga-lembaga publik berserta proses kerjanya.
3. Responsivitas:
apakah pemerintahan yang ada cepat tanggap dalam melayani kepentingan dari
semua stakeholders
4. Keadilan: apakah
pemerintahan yang ada telah memberikan semua orang kesempatan yang sama untuk
memperbaiki kesejahteraannya 5. Konsensus: apakah pemerintahan yang ada telah
berperan dalam menjembatani berbagai aspirasi guna mencapai persetujuan bersama
demi kepentingan masyarakat
6. Effektivitas dan
effisiensi: apakah pemerintahan yang ada telah memenuhi kebutuhan dengan
memanfaatan sumberdaya dengan cara yang paling baik, atau melalui manajemen
sektor publik yang efisien dan efektif.
7. Akuntabilitas:
para pemerintahan yang ada harus bertanggung jawab kepada publik dalam konteks
kinerja lembaga dan aparatnya baik di bidang manajemen, organisasi, maupun di
bidang kebijakan publik.
8. Kebebasan
berkumpul dan berpartisipasi: apakah pemerintahan yang ada telah memberikan
kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul, berorganisasi, dan berpartisipasi
secara aktif dalam menentukan masa depannya.
9. Dukungan aturan
dan hukum: apakah pemerintahan yang ada telah menciptakan aturan dan hukum yang
membentuk situasi dan kondisi yang aman dan tertib, serta kondusif bagi
masyarakat.
10. Demokrasi: apakah
pemerintahan yang ada mendorong proses demokrasi di masyarakat.
11. Kerjasama dengan
organisasi-organisasi masyarakat: apakah pemerintahan yang ada telah
bekerjasama atau mengikutsertakan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat
dalam memecahkan masalah dan memberikan pelayanan publik. Naskah No. 20,
Juni-Juli 2000 7
12. Komitmen pada
pasar: apakah pemerintahan yang ada mendorong kebijakankebijakan yang
berorientasi pada pasar.
13. Komitmen pada
lingkungan: apakah pemerintahan yang ada memperhatikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi:
apakah pemerintahan yang ada telah mengembangkan dan memberdayakan unit-unit
kelembagaan lokal agar dapat mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan dan
situasi lokal.
0 comments:
Post a Comment